Pernahkan membaca buku Nasehati lin Nisa? Buku yang telah 
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Nasehatku bagi Para
 Wanita ini ditulis oleh seorang aalimah (ulama wanita) dari negeri 
Yaman yang bernama Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah. Beliau hafizhahallah 
adalah putri dari ulama ahlul hadits di masa kita, yaitu Asy-Syaikh 
Muqbil bin Hadi Al-Wad’I rahimahullah.Ummu Abdillah adalah seorang 
aalimah yang memiliki banyak keutamaan. Menurut Al-Ustadz Muhammad 
Barmim dalam biografi Syaikh Muqbil, Ummu Abdillah mengajar di madrasah 
nisa’ (khusus wanita) dan memiliki beragam karya tulis ilmiyah. Di 
antaranya:
- Shahihul Musnad fis Syamail Muhammadiyah (tentang kesempurnaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dicetak dalam dua jilid)
 - Jamius Shahih fi ilmi wa Fadhlihi (tentang keutamaan ilmu)
 - Tahqiq kitab As-Sunnah Ibnu Abi Ashim
 - Nasehati lin Nisa
 - dan sekarang beliau masih mengerjakan Shahihul Musnad min Sirah Nabawiyah
 
Yang
 ingin saya angkat dalam artikel ini adalah bagaimana cara Syaikh 
mendidik putrinya sehingga tumbuh menjadi seorang aalimah. Tema ini 
mungkin jarang diangkat karena biasanya yang dipersiapkan sebagai 
seorang alim atau ulama adalah anak laki-laki saja. Pernahkah kita 
bercita-cita putri kita menjadi seorang aalimah? Kalau memang ada 
keinginan tersebut, mungkin kita bisa bercermin terlebih dahulu dengan 
metodologi Asy-Syaikh dalam mendidik putrinya.
Ummu Abdillah berkisah tentang bagaimana ayahanda beliau –Syaikh Muqbil- mendidik putri-putrinya,
…
 Ayahanda tidak pernah menyia-nyiakan kami, betapa pun sibuknya beliau. 
Oleh karena itulah beliau sangat perhatian terhadap kami dalam 
mempelajari Al-Quran. Beliau selalu menuntun kami dalam membaca 
Al-Quran. Kadang beliau rekam agar hapalan kami semakin kokoh. Suatu 
ketika saudari saya menghapal, dan ayahanda sedang berada di 
perpustakaan. Saudariku tadi mencari beliau, ingin direkamkan 
hapalannya. Beliau pun meninggalkan risetnya, merekam hapalan saudariku 
lalu kembali lagi ke perpustakaan.
Begitu kami mengetahui 
qiraah yang baik, beliau membeli kaset qiraah Syaikh Al-Husari untuk 
kami. Beliau juga membelikan untuk masing-masing putrinya satu tape 
recorder tanpa radio. Ini bentuk penjagaan beliau agar kami tidak 
mendengar nyanyian.
Setelah kami mengerti lebih banyak, 
kami dibelikan masing-masing sebuah tape recorder dengan radionya, namun
 beliau tetap memperingatkan kami terhadap nyanyian dengan keras. Dan 
alhamdulillah, kami menerima peringatan tersebut. Kami tidak 
mendengarkan nyanyian sama sekali, seiring dengan rasa tidak senang 
terhadap nyanyian.
Dalam menghapal, beliau memerintahkan 
kami untuk hanya menggunakan satu mushaf dari satu penerbit karena itu 
akan membantu memperkokoh hapalan. Kalau beliau melihat di tangan kami 
ada mushaf yang berbeda, beliau akan memberi peringatan keras dan sangat
 marah.
Di antara murid beliau ada orang-orang Sudan dan 
Mesir yang datang beserta istri-istrinya. Di antara istri-istri mereka 
ada yang mengajar kami dengan diberi imbalan jasa oleh ayah sebagai 
bentuk perhatian beliau terhadap pendidikan. Dan apabila di buku-buku 
yang dipergunakan oleh para guru wanita tersebut ada gambar makhluk 
bernyawanya, beliau memerintahkan kami untuk menghapusnya. Kami pun 
menghapus gambar-gambar tersebut disertai dengan kebencian yang sangat 
terhadap gambar-gambar itu.
Lalu setelah itu kami pun 
diajari ilmu-ilmu syar’i Al Kitab dan As-Sunnah, sehingga kami pun 
menghafal bersama para guru tersebut dan kami pun hapal beberapa hadits 
walhamdulillah.
Beliau rahimahullah terkadang 
bersenang-senang dan bergurau bersama kami, dalam perkara yang diizinkan
 oleh Allah. Berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin –kecuali yang 
dirahmati oleh Allah- yang bersenang-senang bersama anak-anak mereka 
dengan televisi, nyanyian, permainan-permainan gila, serta kerusakan 
lainnya. Padahal nabi kita bersabda, “Kamu sekalian adalah pemimpin dan 
akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang dipimpinnya.”
Beliau selalu melarang kami terlalu banyak keluar, dan beliau selalu mengharuskan kami untuk tidak keluar kecuali seizin beliau.
Ini apa yang dijalankan beliau semasa kami kecil.
Ada
 pun tentang pendidikan kami, beliau sangat ingin kami mendalami agama 
Allah dan mencari bekal ilmu syar’i. Sebab itulah, beliau mencurahkan 
kemampuan beliau untuk membantu kami menuntut ilmu dan membuat kami 
menggunakan kesempatan kami dengan sebaik-baiknya. Beliau selalu 
menyediakan waktu khusus untuk mendidik kami. Setiap hari kedua, beliau 
menanyakan pelajaran yang telah lalu. Jika pelajaran itu terlalu berat, 
maka beliau berikan dengan cara yang jauh lebih ringan.
Di
 antara pelajaran yang khusus kami pelajari di rumah adalah:- Qatrun 
Nada sampai dua kali- Syarh Ibnu Aqil sampai dua kali juga- Tadribur 
Rawi- Mushilut Thullabi ila Qowaidil I’rab (namun tidak selesai karena 
beliau sakit)
Majelis beliau senantiasa penuh dengan kebaikan, diskusi, dan pengarahan, sampai pun di atas hidangan makan atau via telepon.
Ketika
 beliau di Saudi sebelum berangkat ke Jerman, ayahanda mengucapkan salam
 lewat telepon kepada saya, “Assalamu’alaikum warahmatullah 
wabarakatuh”. Saya menjawab tanpa mengucapkan, “Wabarakatuh”. Beliau 
bertanya (menegur), “Mengapa tidak engkau balas dengan yang lebih 
utama?” sebagai isyarat pengamalan ayat ke 86 dari surat An-Nisa.
Terkadang
 beliau sengaja salah memberikan pertanyaan untuk menguji pemahaman 
kami, sebagaimana itu beliau lakukan juga kepada murid laki-laki. Kadang
 beliau bertanya tentang soal yang cukup berat, untuk memberikan faedah 
namun disuguhkan dengan pertanyaan terlebih dahulu. Metode ini pun 
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana di 
dalam hadits Muadz.
Kadang ketika kami menemui kesulitan 
dalam pelajaran atau riset kami, beliau memerintahkan kami untuk 
meneruskan riset tersebut, atau beliau mengikuti kami ke perpustakaan 
dan membantu kami. Inilah yang menyebabkan kami begitu berduka karena 
kehilangan beliau rahimahullah. Siapa yang akan memperhatikan kami 
sepeninggal ayahanda?
Beliau selalu mendidik dan 
mengarahkan kami dengan lemah lembut. Dan dengan karunia Allah, kami 
tidak terdorong sedikit pun untuk menentang beliau, karena semua itu 
adalah demi kemaslahatan dan keuntungan kami juga. Semuanya adalah 
mutiara yang diuntai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Di 
antara yang mengagumkan pada diri beliau adalah (beliau-ed) tidak pernah
 (keras/menekan-ed) kepada kami dalam perkara ijtihad kami yang memiliki
 sisi pandang lain. Kalau kami sudah memahami suatu masalah yang berbeda
 dengan pemahaman beliau maka beliau tidak memaksa kami, seperti juga 
kebiasaan beliau bersama murid-muridnya yang laki-laki. Beliau tidak 
pernah menekan mereka untuk memahami sesuatu yang masih perlu 
dipertimbangkan. Ini, sebagaimana para pembaca lihat, adalah kemuliaan 
yang sangat jarang ditemukan.
Beliau rahimahullah juga 
memperingatkan kami dari masyarakat, karena masyarakat kami adalah 
masyarakat yang rusak, bersegera dalam kesesatan dan hal-hal yang tidak 
berguna, kecuali yang dirahmati Allah.
Beliau juga 
memperingatkan kami dari sikap sombong. Beliau sangat benci kepada 
wanita yang sombong terhadap suaminya, beliau mengatakan, “Tidak ada 
kebaikan wanita yang seperti ini.”
Beliau mendorong kami 
untuk bersikap zuhud terhadap dunia yang rendah ini. Beliau bimbing kami
 untuk meniatkan apa yang kami makan dan minum untuk menguatkan kami 
dalam bertakwa, agar memperoleh pahala dari Allah. Beliau katakan, 
“Janganlah kamu sibukkan dirimu menyiapkan berbagai hidangan makanan. 
Apa yang mudah diolah, kita makan.”
Beliau bangkitkan 
semangat kami. Beliau bukan termasuk orang yang suka meruntuhkan 
semangat keluarga dan anak-anak perempuannya. Beliau membentuk kami 
dengan sebaik-baiknya, agar kami mudah dan bersemangat untuk 
bersungguh-sungguh dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Di
 antara ucapan beliau kepada saya, “Saya berharap agar kamu menjadi 
wanita yang faqih.” Ya Allah, wujudkanlah harapan ayahanda, duhai Zat 
yang tidak diharap kecuali kepada-Nya, tempatkanlah beliau di surga 
firdaus yang tinggi.
(Diringkas dari buku “Secercah 
Nasehat dan Kehidupan Indah Ayahanda Al-Allamah Muqbil bin Hadi 
Al-Wadi’I”, terbitan pustaka Al-Haura Jogjakarta).







 
 




0 komentar:
Posting Komentar
Dilarang meninggalkan komentar yang berbau Politik, dan berkomentarlah dengan ahsan. Barakallahu fiikum....