Cerita Fiksi dan Sandiwara Islami

Oleh : Syaikh DR. Sholih Bin Fawzan Bin Abdullah Al-Fawzan -Rahimahullah-

 Akhir-akhir ini masyarakat muslim Indonesia disuguhi dengan menjamurnya berpuluh-puluh bahkn beratus-ratus buku berisi cerita fiksi, cerpen, atau novel berlabel "Islam". Buku buku tersebut kini memadati rk-rak di berbgai toko buku, dijual secara bebas, dikemas dengan cover yang menarik dan fantastis, dn dikonsumsi berbagai kalangan. Baik tua maupun muda, remaja hingga dewasa. Fenomena ini diiringi dengan hadirnya film-film dan sandiwara islami. baik yang diangkat dari buku-buku tersebut, ataupun cerita film rekaan sang sutradara. Pertanyaan demi pertanyaan mengemuka, bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini? Berikut penjelasan Syaikh DR. Sholih Bin Fawzan Bin Abdullah Al Fawzan -Rahimahullah- tentang persoalan tersebut.

1. Cerita Fiksi Penuh Ilusi

Apa hukum membaca dan menulis kisah fiksi dan cerita yang bisa membangkitkan imajinasi? Dan apakah jika kisah-kisah ini membantu memperbaiki beragam masalah sosial, maka kisah-kish ini diperbolehkan?

Syaikh menjawab :
Kisah fiksi seperti ini merupakn kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si penulis dan pembaca tanpa memberikan manfaat. Jadi lebih bagi seseorang untuk tidak menyibukkan diri dengan perkara ini (menulis atau membaca cerita fiksi-ed)

Apabila Kegiatan membaca atau menulis kisah fiksi ini membuat seseorang lalai dari perkara yang hukumnya wajib, maka kegiatan ini haram hukumnya. Dan apabila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini hukumnya makruh. Dalam setiap kondisi, waktu seorang muslim sangat berharga, jadi tidak boleh bagi dirinya untuk menghabiskan waktunya untuk perkara yang tidak ada manfaatnya.

2. Sandiwara dan Nasyid Islami

Adapun ketika ditanya tentang hukum sandiwara dan nasyid-nasyid yang dinamakn nasyid Islami, maka beliau menjawab :
Sandiwara, saya katakan tidak boleh karena :
- Pertama, Didalamnya melalaikan orang yang hadir, sebab mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang (tertawa). Sndiwra itu biasanya dimaksudkan untuk hiburan, sehingga melalaikan orang yang menyaksikan. Ini dari satu sisi.
- Kedua, Individu-individu yang ditiru, kadang-kadang berasal dari tokoh islam seperti sahabat. Hal ini dianggap sebagai sikap meremehkan mereka, baik si pemain merasa atau tidak. Contoh, anak kecil atau seseorang yang sangat tidak pantas, menirukan ulama atau sahabat. ini tidak boleh. Kalau ada seseorang datang menirukan kamu, berjalan seperti jalanmu, apakah engkau ridha dengan hal ini? Bukankah sikap ini digolongkan sebagai sikap merendahkan terhadap kamu? Walaupun orang yang meniru tersebut bermaksud baik menurut sangkaannya. Tetapi setiap individu tidak akan rela terhadap seseorang yang merendahkan dirinya.
- Ketiga, Yang ini sangat berbahaya, sebagian mereka menirukan pribadi kafir seperti Abu Jahal atau Fir'aun dan selain mereka. Dia berbicara dengan pembicaraan yang kufur yang menurut dugaannya dia hendak membantah kekufurannya, atau ingin menjelaskan bagaimana keadaan jahiliyah. Ini adalah Tasyabbuh (Meniru). Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa sallam- melarang tasyabbuh dengan orang-orang musyrik, dan kufur baik dengan meniru (menyerupai) kepribadian maupun perkataannya. Dakwah dengan cara ini dilarang karena tidak ada petunjuk Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa sallam- serta bukan dari Salafush Sholih maupun petunjuk kaum muslimin. Model-model sandiwara ini tidak dikenal kecuali dari luar Islam. Masuk kepada kita dengan nama dakwah Islam, dan dianggap sebagai sarana-sarana dakwah. Ini tidak benar karena sarana dakwah adalah Tauqifiyah (Ittiba'). Cukup dengan yang dibawa Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa sallam- dan tidak butuh jalan seperti ini. Bahwasanya dakwah akan tetap menang dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Tanpa adanya model-model sandiwara ini. Tatkala cara ini (sandiwara) adalah perkara negatif dan tidak ada faidahnya sedikitpun. Bahkan di dalamnya terdapat hal-hal yang membahayakan.

3. Malaikat Menyerupai Anak Adam

Mengenal adanya perkataan sebagian orang, bahwa malaikat itu menyerupai anak Adam (manusia), maka beliau membantahnya.
Beliau -rahimahullah- menjawab :
Malaikat-malaikat itu datang dalam bentuk anak adam, karena manusia tidak mampu melihat dlam bentuknya yang asli. Ini merupakan kebaikan bagi manusia. Sebab jika malaikat datang dengan bentuk mereka yang sebenarnya, maka manusia tidak akan mampu berbicara dengan mereka dan tidak bisa melihat kepada mereka. Para malaikat tatkala menyerupai bentuk manusia tidak bermaksud bermain sandiwara sebagaimana yang mereka inginkan. Malaikat itu menyerupai manusia dalam rangka memperbaiki. Karena malaikat mempunyai bentuk sendiri yang berbeda dari manusia. Adapun manusia, maka bagaimana bentuk seseorang itu berubah kepada bentuk manusia yang lain. Apa yang mendorong kepada perubahan ini?

Demikianlah pembaca sekalian, beberapa hukum yang perlu kita ketahui berkaitan dengan kisah fiksi, sandiwara, dan nasyid Islami.


Sumber :
1. Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufidah An-As'illah Al-Manahij Al-Jadidah, Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal Bin Farihah Al-Haritsi.

0 komentar:

Posting Komentar

Dilarang meninggalkan komentar yang berbau Politik, dan berkomentarlah dengan ahsan. Barakallahu fiikum....