“Angin yang
menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak
ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi
balasan kepada kaum yang berdosa” (Al Ahqaf: 25).
Mereka mengatakan: “Lihatlah bagaimana Allah mengatakan
bahwa angin tersebut menghancurkan ‘SEGALA SESUATU" padahal tidak semuanya
hancur, buktinya rumah mereka masih tersisa, demikian pula bumi, langit, dan
sebagainya. Ini berarti bahwa kata "KULLU" dalam bahasa Arab tidak
selamanya berarti "SETIAP/SEMUA" tanpa kecuali. Namun dalam sabda
beliau tersebut tersisipkan sebuah kalimat yang tidak terucap, –yang menurut mereka–
bunyinya ialah: “yang bertentangan dengan syari’at”. Jadi konteks sabda Nabi
selengkapnya berbunyi: “Semua bid’ah –yang bertentangan dengan syari’at– adalah
sesat”. Nah, mafhum-nya berarti bahwa bid’ah yang tidak bertentangan dengan
syari’at tidaklah sesat…” (Ada dalam sebuah buku karangan mereka)
Aneh kan???
**Bantahan Kami :
Memang benar, bahwa kata-kata yang bernada umum dalam bahasa Arab, seperti (كُلُّ), isim maushul (الَّذِي/الَّذِيْنَ), isim jins (الإنسان, الجن, الحجر, الحيوان…, dan sejenisnya, tidak harus diartikan umum tanpa kecuali. Dengan memperhatikan konteks kalimat, realita, penalaran, dan nash-nash lainnya, seseorang bisa menyimpulkan apakah keumuman suatu ungkapan dalam bahasa Arab tadi masih berlaku mutlak, ataukah tidak.
Dalam ilmu ushul fiqih ada yang istilahnya ‘aammun uriida bihil ‘umuum
(ungkapan umum yang maksudnya memang umum), ada pula ‘aammun makhshuush
(ungkapan umum yang mengandung pengkhususan/pengecualian), bahkan ada yang
‘aammun uriida bihil khushuush (ungkapan umum yang maksudnya khusus).
Contoh untuk yang pertama (aammun uriida bihil ‘umuum) ialah
ayat-ayat berikut:
“Allah lah yang menciptakan segala sesuatu,
dan Dia lah yang memelihara segala sesuatu” (Az Zumar: 62).
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di
bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya…” (Hud: 6).
Imam Asy
Syafi’i menjelaskan bahwa kesemuanya ini merupakan jenis ungkapan umum yang
berlaku MUTLAK TANPA PENGECUALIAN (Lihat Ar Risalah, hal 53-54 karya Al
Imam Asy Syafi’i. Tahqiq Al ‘Allaamah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Al
Maktabatul ‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon.).
Demikian pula ketika Allah Ta’ala mengatakan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu (QS. Al Baqarah :29, 231, 282, dan lain-lain). Jelas keumuman ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan dengan penafsiran lain karena TIDAK ADA PETUNJUK atau QARINAH yang mengarah ke penafsiran lainnya.
Demikian pula ketika Allah Ta’ala mengatakan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu (QS. Al Baqarah :29, 231, 282, dan lain-lain). Jelas keumuman ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan dengan penafsiran lain karena TIDAK ADA PETUNJUK atau QARINAH yang mengarah ke penafsiran lainnya.
Berbeda
dengan ketika Allah Ta’ala bercerita tentang angin topan yang
membinasakan kaum ‘Aad;
“Angin
yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah
mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Al Ahqaf: 25).
Dalam ayat
ini jelas bahwa ungkapan “segala sesuatu”
tidak berlaku umum, namun banyak yang dikecualikan. Hal ini selain tersirat
dalam kelanjutan ayat ini sendiri, juga bisa kita fahami dari realita. Angin
topan yang dikatakan menghancurkan segalanya tadi ternyata tidak menghancurkan
langit, bumi, gunung-gunung, dan sebagainya. Ia hanya menghancurkan kaum ‘Aad
saja, bahkan masih menyisakan tempat tinggal mereka.
Namun ada
kalanya Al Qur’an menggunakan ungkapan
umum sedang yang dimaksud hanyalah seorang.
Seperti pada ayat berikut;
“(Yaitu)
orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada
orang-orang yang mengatakan:”Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan
pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah
menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (Ali ‘Imran: 173).
Dalam
tafsirnya, Imam Ath Thabary -rahimahullah- menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kata (النَّاسُ) atau ‘orang-orang yang mengatakan’ di
sini hanyalah satu orang, yaitu: Nu’aim bin Mas’ud,
sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai riwayat dalam kitab-kitab sirah. [Lihat:
Jaami’ul Bayaan fi Ta’wiilil Qur’an, 4/191 tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir,
cet. Muassasah Ar Risalah, Beirut.]
Kesimpulannya, untuk menentukan apakah sebuah ungkapan yang bernada umum itu masih berlaku mutlak ataukah tidak, kita harus memperhatikan berbagai qarinah (petunjuk) yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain yang shahih, atau dengan realita yang ada; bukan sekedar akal-akalan dan ‘menurut hemat saya’.
Kesimpulannya, untuk menentukan apakah sebuah ungkapan yang bernada umum itu masih berlaku mutlak ataukah tidak, kita harus memperhatikan berbagai qarinah (petunjuk) yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain yang shahih, atau dengan realita yang ada; bukan sekedar akal-akalan dan ‘menurut hemat saya’.
Kami
khawatir, dengan akal-akalan semacam ini, kelak ada yang mengatakan bahwa sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut akan disimpangkan pula
maknanya:
عَنْ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ
مُسْكِرٍ حَرَامٌ. رواه مسلم
Dari Ibnu
Umar katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semua
yang memabukkan adalah khamer, dan semua yang memabukkan itu haram”
(H.R. Muslim no 2003).
Bila Novel
Alaydrus mengartikan sabda Nabi: wa kullu bid’atin dholalah, dengan arti: semua
bid’ah –yang bertentangan dengan syari’at– adalah sesat. Maka konsekuensinya
dia juga harus mengartikan hadits di atas dengan cara yang sama… lantas
bagaimana kira-kira dia akan mengartikannya?
Memahami muthlaq
& muqayyad
Perlu kita
ketahui, bahwa dalam bahasa Arab, ada yang namanya muthlaq (mutlak/tidak terbatasi) dan muqayyad (terbatasi). Misalnya ialah kalau seseorang
mengatakan: “Hormatilah manusia”. Ketika mendengar kata-kata ini, yang
segera kita tangkap ialah bahwa kita diperintah untuk menghormati siapa saja
yang masuk dalam kategori ‘manusia’, dan inilah yang disebut muthlaq.
Namun jika
kata ‘manusia’ tadi diberi sifat tertentu, seperti ‘yang beriman’ misalnya;
maka keumuman perintah tadi jadi terbatasi, sesuai dengan sifat yang
dimilikinya. Sehingga dengan mengatakan: “Hormatilah manusia yang beriman”,
tidak setiap manusia boleh dihormati, akan tetapi hanya yang beriman saja yang
boleh dihormati. Inilah yang disebut muqayyad (terbatasi).
Ringkasnya,
sifat yang dilekatkan pada sesuatu terkadang berfungsi sebagai pembatas hakekat
sesuatu tadi. Inilah salah satu fungsi dari qaid (pembatas makna) yang
dalam hal ini berupa kata sifat.
Kendatipun
demikian, tidak semua kata sifat bermakna seperti itu, bahkan dalam beberapa
konteks kalimat ia bermakna lain. Perhatikanlah firman-firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut:
Pertama:
Dan barangsiapa
menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun
baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya.
Sesungguhgnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”. (Al Mu’minun: 117). Kita tidak
dapat menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki dalil akan keberadaan ilah
selain Allah maka ia boleh menyembah selain Allah.
Kedua:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda,
dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Aali ‘Imran: 130). Bolehkah
seseorang menyimpulkan dari kata: “dengan berlipat ganda”, bahwa jika
riba yang dipungutnya tidak berlipat ganda maka halal baginya?
Sebagaimana
yang kita ketahui, yang dimaksud berlipat ganda adalah lebih dari 100 %.
Berangkat dari sini, kalaulah boleh seseorang berdalil dengan mafhum
(makna tersirat) dari ayat di atas, maka boleh baginya memakan riba yang kurang
dari 100 %. Boleh baginya meminjami uang Rp. 1 juta kemudian meminta pelunasan
sebesar Rp. 2 juta umpamanya. Ataukah maksudnya sekedar pengkhabaran akan
bentuk riba di zaman jahiliyah yang pada umumnya berlipat ganda…? Karenanya
ayat ini pun turun dengan bahasa yang sesuai dengan kondisi saat itu tanpa
bermaksud membolehkan riba yang tidak berlipat ganda. Bagaimana menurut
saudara?
Ketiga:
“(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (segala sesuatu
yang mendahului hubungan suami istri), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan selama
mengerjakan haji… (Al
Baqarah: 197).
Bolehkah
seseorang menyimpulkan dari kata: “selama mengerjakan haji”, bahwa
perbuatan fasik hanya dilarang ketika musim haji saja, sedang diluar itu boleh
berbuat fasik…? Ataukah ayat ini seperti ayat sebelumnya yang sekedar
menggambarkan kondisi musilm haji, yang memang potensial untuk mendorong
seseorang berbuat fasik. Yaitu ketika berjuta orang berdesakan di Arafah, atau
ketika melontar jumrah, thawaf, sa’i, dan manasik haji lainnya; hingga manusia
cenderung untuk berkata kasar kepada sesama muslim, atau main sikut, dan lain
sebagainya; sehingga tidak bisa difahami bahwa perbuatan fasik tadi boleh
dilakukan di luar musim haji… Yang mana kira-kira?
Keempat:
“…Dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran jika
mereka menginginkan kesucian, demi mencari keuntungan duniawi… (An Nur: 33).
Bolehkah
kita menyimpulkan dari kata: “jika mereka menginginkan kesucian”, bahwa
jika para budak wanita tadi tidak menginginkan kesucian, maka kita boleh
memaksanya melacur dan memakan uang hasil pelacuran tadi…?? Ataukah ayat ini
seperti pendahulunya yang sekedar memberi gambaran akan praktek mucikari
di zaman jahiliyah; yang pada umumnya dengan memaksa budak-budak wanita untuk
melacur, padahal budak-budak itu ingin jadi wanita terhormat… Jelas bukan?
================================================================
================================================================
## Syubhat
Ahlul bid’ah dalam masalah ini
Sebagian
ahlul bid’ah ada yang berdalil dengan hadits berikut karena tidak faham akan
kaidah di atas;
مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، وفي لفظ: مَنْ
عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. (رواه مسلم)
“Barangsiapa mengada-adakan dalam
agama kami, yang bukan berasal darinya (agama); maka ia
tertolak”. Dalam lafazh lainnya disebutkan: “Barangsiapa mengamalkan sesuatu
dalam agama kami, yang bukan berasal darinya; maka amalan
tersebut tertolak”. [H.R. Muslim dalam Shahihnya, hadits no 1718, dari Aisyah]
Mereka
mengatakan: Penambahan
kalimat ‘yang bukan darinya’ (agama), merupakan bukti bahwa tidak semua
yang baru berarti tertolak dan sesat. Hanya yang baru yang tidak bersumber
dari agama sajalah yang tertolak dan sesat. Andaikata semua hal baru adalah
sesat, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menambahkan
kalimat tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung
berkata, “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam agama kami ini, maka
ia tertolak”, tetapi hal ini tidak beliau lakukan.
Kesimpulannya,
selama hal baru tersebut bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat
diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. [Seperti pendahulunya, syubhat ini penulis nukil dari
buku Mana Dalilnya 1, hal 20-24]
Pembaca yang
budiman, mungkin setelah anda membaca uraian di atas anda akan berubah fikiran…
atau setuju akan adanya bid’ah yang tidak sesat dalam agama. Tapi jangan
tergesa-gesa, syubhat di atas tak lebih dari sekedar permainan bahasa saja;
yang mungkin karena kelihaian penulisnya dalam bermain kata, akan tersamarkan
bagi orang awam. Namun hal ini tak akan mengelabui orang yang faham akan gaya
bahasa Arab; yang notabene adalah bahasa Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
## Bantahan
terhadap syubhat ini:
Pertama: Marilah kita ingat kembali
definisi bid’ah yang disebutkan oleh Al Jurjani pada pembahasan sebelumnya (hal
35). Beliau mengatakan:
Bid’ah ialah
perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam). Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya
tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang
tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan
sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i. [At Ta’riefaat 1/13. Oleh Al Jurjani]
Dari
definisi di atas, dapat kita fahami bahwa yang namanya bid’ah itu harus
menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak
selaras dengan dalil syar’i (Al Qur’an dan Sunnah). Berangkat dari sini, perkataan
bahwa jika sesuatu yang baru (bid’ah) itu bersumber dari Al Qur’an dan
Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima
oleh Rasul-Nya, adalah kesalahan fatal yang ujung-ujungnya menyamakan
antara bid’ah dengan syari’at itu sendiri –sebab menurutnya keduanya berasal
dari Al Qur’an dan hadits–, dan ini jelas batil.
Kedua: kata-kata ‘yang bukan berasal
darinya (agama)’ dalam hadits di atas bukanlah sifat yang membatasi, akan
tetapi sifat yang menyingkap bahwa semua bid’ah hakikatnya bukanlah berasal
dari agama. Karena bila sesuatu itu berasal dari Al Qur’an dan Hadits maka
hal tersbut telah ada sejak adanya Islam itu sendiri, dan bukan dianggap baru.
Jelas sekali bahwa perkataan ini mengandung kontradiksi yang tidak mungkin
diucapkan oleh orang yang berakal, apalagi seorang Rasul yang paling fasih
berbahasa Arab dan menerima wahyu dari Allah Ta’ala.
**Memahami Mafhum Mu’tabar dan Mafhum Ghairu Mu’tabar
Ketahuilah
wahai saudaraku seiman, untuk memahami Al Qur’an tak cukup dengan akal-akalan
dan main qiyas semata; “kalau begini berarti begitu… kalau tidak
begini berarti tidak begitu…”. Coba bayangkan bagaimana jadinya kalau
analogi seperti ini kita terapkan ketika memahami nash-nash Al Qur’an dan
Sunnah, kemudian dengan ilmu yang serba terbatas kita simpulkan seperti di
atas? Jelas akan sesat dan menyesatkan… sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya
Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari
itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu
benar dari Rabb mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud
Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” Dengan perumpamaan ini banyak
orang yang dibiarkan sesat oleh Allah, dan dengannya pula banyak orang yang
diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang yang
fasik” (Al Baqarah: 26).
Nah, agar
tidak dibiarkan sesat oleh Allah, kita harus mengindahkan kaidah-kaidah
penafsiran dan jangan sekedar akal-akalan dalam menafsirkan Al Qur’an maupun
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Alhamdulillah,
para ulama telah meletakkan beberapa kaidah dalam menentukan maksud suatu ayat
atau hadits secara umum. Kaidah tersebut diantaranya berbunyi:
اَلْوَصْفُ إِذَا خَرَجَ مَخْرَجَ الْغَالِبَ, فَلَيْسَ لَهُ مَفْهُوْمٌ
مُعْتَبَرٌ.
Setiap sifat
yang disebutkan dalam konteks pada umumnya, maka mafhum-nya tidak
berlaku. [Lihat Anwarul
Buruq fi Anwa’il Furuq, al farqu 62 oleh Al Qarafy; I’lamul Muwaqqi’ien
Kitabu ‘Umar fil Qadha’, fasal: Hukmu Aliyyin fi Jama’atin waqa’u fi imraatin,
oleh Ibnul Qayyim; Syarh Al Kaukabul Munir, bab: At Takhsis, fasal ke 3]
Maksudnya,
jika sifat itu menunjukkan kondisi sesuatu pada umumnya, maka tidak boleh bagi
kita menarik suatu kesimpulan yang berlawanan –alias mafhum– darinya,
karena mafhum tersebut hukumnya tidak berlaku menurut ijma’ ulama.
Seperti ketika Allah melarang untuk memakan riba yang berlipat ganda; mafhumnya
ialah yang tidak berlipat ganda boleh dimakan. Nah mafhum seperti ini
hukumnya tidak berlaku, karena ayat ini berbicara tentang konteks riba zaman
jahiliyah, yang pada umumnya
berlipat ganda.
Standar
untuk mengetahui hal ini ialah apabila kata sifat yang dijadikan penjelas tadi
sering kali kita jumpai dalam masalah yang digambarkan. Jika sifat tersebut
senantiasa melekat padanya, atau kita jumpai pada sebagian besar kondisinya,
maka mafhumnya tidak berlaku dan tidak menjadi hujjah menurut ijma’
ulama. Namun jika tidak demikian, maka mafhumnya berlaku menurut
sebagian ulama yang berhujjah dengan mafhum.[ Lihat: Anwarul Buruq fi
Anwa’il Furuq, al farqu 62, oleh Al Qarafy.]
Karenanya,
ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyifati sesuatu dengan sifat atau keadaan tertentu, kita tidak boleh serta
merta menarik kesimpulan terbalik dari lafazh aslinya. Karena terkadang sifat
itu bukan bertindak sebagai pembatas makna (sifatun muqayyidah), namun
sebagai penyingkap akan hakekat sesuatu tadi (sifatun kaasyifah). Untuk
lebih jelasnya silakan saudara merenungkan ulang penjelasan ayat-ayat pada bab
sebelumnya, kemudian perhatikan contoh lain berikut:
“Sesungguhnya
taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran
kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah
yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (An Nisa: 17).
Kata-kata
(بجهالة) dalam ayat ini adalah contoh bagi sifatun kaasyifah. Maksudnya
sebagai kata sifat/keadaan yang menyingkap hakekat mereka yang berbuat jahat;
yaitu bahwa setiap orang yang berbuat jahat adalah orang jahil, karena
kejahilanlah yang mendorongnya untuk berbuat jahat.
Jadi, kata
‘lantaran kejahilan’ tadi bukan sebagai sifatun muqayyidah (kata
sifat/keadaan yang membatasi). Karena jika tidak demikian, maka maksud ayat di
atas ialah bahwa taubat itu khusus bagi orang jahil yang bermaksiat saja, sedangkan
orang alim yang bermaksiat tidak perlu bertaubat… padahal orang sekaliber
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja setiap hari beristighfar
tak kurang dari 70 kali… [H.R. Bukhari no 6307 dan At Tirmidzi no 3182, dari
Abu Hurairah; dan Ibnu Majah no 3807 dari Abu Musa Al Asy’ari]
Dari sini
dapat kita fahami, bahwa apa yang dijadikan dalil oleh ahlul bid’ah dalam
membenarkan adanya bid’ah yang tidak sesat, atau bid’ah yang dapat diterima
oleh Allah dan Rasul-Nya adalah suatu kekeliruan fatal!!
## Syubhat
lain yang dapat
kita bantah melalui kaidah di atas ialah sebagai berikut:
إِنَّهُ مَنْ
أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الأَجْرِ
مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ
ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لاَ تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ
مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ
شَيْئًا (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)
“Ketahuilah,
barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah mati sepeninggalku,
maka baginya pahala seperti pahala orang yang ikut mengamalkannya, tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa melakukan bid’ah
dholalah yang tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan
memikul dosa orang-orang yang mengamalkan bid’ah itu, tanpa mengurangi dosa
mereka sedikitpun. (H.R.
Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).
Hadits ini
dijadikan dalil (baca: syubhat) oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah
itu sesat. Andaikata semua bid’ah itu sesat, tentu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam akan langsung berkata: “Barangsiapa mengadakan sebuah
bid’ah” tanpa harus menambahkan kata ‘dholalah’ dalam sabdanya
tersebut. Dengan menyebut bid’ah dholalah (yang sesat), maka logikanya
ada bid’ah yang tidak dholalah (tidak sesat). [Mana Dalilnya 1, hal 22]
## Bantahan terhadap syubhat ini:
## Bantahan terhadap syubhat ini:
Al ‘Allaamah
Al Muhaddits Abdurrahman Al Mubarakfury dalam penjelasannya terhadap hadits di
atas mengatakan sebagai berikut (mengutip ucapan Shiddiq Hasan Khan):
“Penulis
kitab Mirqaatul Mafaatieh mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam membatasi bid’ah disini dengan bid’ah yang dholalah untuk
mengecualikan bid’ah hasanah”. Pendapat senada juga diungkapkan oleh
penulis kitab Asyi’atul Lama’aat dengan menambahkan: “Karena bid’ah
hasanah mengandung kemaslahatan bagi agama, sekaligus menguatkan dan
melariskannya (di masyarakat)”. Saya(Asy Syaikh Shiddiq Hasan Khan, rahimahullah)
katakan“Kedua pendapat tersebut salah besar! Karena Allah dan Rasul-Nya
tak pernah meridhai bid’ah, apa pun bentuknya. Seandainya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak mengecualikan bid’ah hasanah, niscaya beliau tak
akan menjelaskan dalam haditsnya bahwa: “Semua bid’ah itu sesat…” atau:
“Semua hal yang baru itu bid’ah, dan semua yang sesat itu di neraka…”
sebagaimana yang tersebut dalam salah satu riwayat. Ucapan beliau tadi pada
dasarnya bukanlah qaid (pembatas) akan bid’ah. Namun merupakan bentuk
pengkabaran beliau dalam mengingkari segala macam bid’ah, dan menjelaskan bahwa
semua bid’ah adalah tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalil yang
menguatkan pendapat ini ialah firman Allah: { وَرَهْبَانِيَّةً اِبْتَدَعُوهَا
مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ } yang maknanya: “…Dan mereka mengada-adakan
bid’ah rahbaniyyah (kependetaan) padahal kami tidak mewajibkannya
kepada mereka…” (Al Hadid: 27). Lihatlah,
bagaimana Allah menyifati bid’ah kependetaan tadi dengan kata-kata: ‘padahal
kami tidak mewajibkannya atas mereka’. Maknanya cukup jelas, bahwa bid’ah
mereka adalah sama sekali tidak Allah perintahkan, karena jika Allah
perintahkan tidak akan menjadi bid’ah.
Adapun
prasangka bahwa bid’ah itu ada kemaslahatannya bagi agama, sekaligus menguatkan
dan melariskannya; bantahannya ialah firman Allah Ta’ala :{ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ } yang artinya: “Sesungguhnya sebagian dari prasangka
itu dosa” (Al Hujurat: 12). Saya tak habis pikir, apa makna ayat: “Sesungguhnya
sebagian dari prasangka itu dosa”, dan ayat: “Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (Al Ma’idah: 3), kalaulah
maslahat yang dimaksud ialah melariskan bid’ah..!? Ya Allah, alangkah
anehnya pendapat semacam ini… adakah mereka tidak tahu bahwa dengan
menyemarakkan bid’ah berarti mematikan sunnah? Dan dengan mematikan bid’ah
berarti menghidupkan sunnah?? Sungguh demi Allah, agama Islam itu lengkap,
sempurna, dan tak kurang sedikit pun. Ia tak butuh sedikit pun terhadap bid’ah
sebagai pelengkap. Nash-nash (dalil-dalil) yang dikandungnya cukup banyak dan
meliputi setiap perkara atau problematika baru yang akan muncul hingga hari
kiamat”. Demikian sanggahan beliau dalam kitabnya Ad-Dienul Khalish
secara ringkas.
Saya (Abdurrahman Al Mubarakfury, rahimahullah)
katakan: “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi
(بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ) diriwayatkan dengan idhafah –yaitu dibaca: bid’ata
dhalalatin–, atau bisa juga dengan manshub (بِدْعَةً ضَلاَلَةً) –dibaca:
bid’atan dhalalatan– sebagai sifah wa mausuf. Jadi, ‘dholalah’
merupakan sifat bagi bid’ah tersebut. Sedangkan kata sifat ini termasuk sifatun
kaasyifah (sifat yang menyingkap hakekat sesuatu); bukan sifatun
muqayyidah yang mengecualikan bid’ah hasanah (dari bid’ah yang
menyesatkan). Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lainnya yang berbunyi: (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) “Semua bid’ah itu sesat”
(H.R. Abu Dawud, dari ‘Irbadh bin Sariyah).
Adapun sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi (لاَ تُرْضِي اللهَ
وَرَسُولَهُ) “Tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya”, merupakan sifatun
kaasyifah yang kedua bagi bid’ah tadi. [Lihat: Tuhfatul Ahwadzi Bisyarh
Jaami’ At Tirmidzi karya Al Mubarakfury, syarah hadits no 2601]
Lebih dari
itu, hadits ini masih diperselisihkan keshahihannya. Meski At Tirmidzi
menganggapnya hasan –dan beliau memang terkenal gampang menghasankan hadits,–
namun salah satu perawi hadits ini ialah Katsier bin Abdillah bin Amru bin
‘Auf Al Muzani. Berikut ini kami nukilkan sanad hadits diatas selengkapnya;
Imam At Tirmidzi -rahimahullah- berkata:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ
عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ
الْحَارِثِ … الحديث (جامع الترمذي, كتاب العلم, باب: ما جاء في الأخذ بالسنة
واجتناب البدع, حديث رقم 2601).
Abdullah bin
Abdirrahman mengabarkan kepada kami, katanya: Muhammad bin ‘Uyainah mengabarkan
kepada kami, dari Mirwan bin Mu’awiyah Al Fazary, dari Katsir bin ‘Abdillah
–yaitu: bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany–, dari Ayahnya, dari Kakeknya, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ibnul Harits:…. Al
hadits” (H.R. Tirmidzi, no 2601).
Cacat hadits
ini ialah pada silsilah rawi yang bercetak tebal di atas. Untuk lebih jelasnya,
kami akan menukilkan komentar para ahli hadits mengenai riwayat mereka:
1. Al Imam
Ibnu Hibban -rahimahullah- mengatakan:
كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني: يروي عن أبيه عن جده، روى عنه مروان
بن معاوية وإسماعيل بن أبى أويس، منكر الحديث جدا، يروي عن أبيه عن جده
نسخة موضوعة لا يحل ذكرها في الكتب ولا الرواية عنه (كتاب المجروحين 2/221).
Katsir bin
Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany; Ia meriwayatkan dari Ayahnya dari
kakeknya. Sedang yang meriwayatkan dari Katsir ialah Marwan bin Mu’awiyah dan
Isma’il bin Abi Uwais. (Katsir ini) munkarul hadits jiddan. Keduanya
merupakan jarhun syadied (kritikan pedas), yang menjatuhkan hadits orang
itu ke tingkat dha’if jiddan (lemah sekali) bahkan maudhu’
(palsu).. Ia meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya sekumpulan hadits maudhu’
(palsu) yang tidak halal untuk disebutkan dalam kitab-kitab dan tidak halal
untuk diriwayatkan. (Kitabul Majruhien 2/221)
2. Imam An Nasa’i -rahimahullah-
berkata:
كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف: متروك الحديث (الكامل لابن عدي 6 /
58).
Katsir bin
Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf; matruukul hadits 1)
(Al Kamil, oleh Ibnu ‘Adiy 6/58).
3. Imam Syafi’i & Abu Dawud
-rahimahumallah- menyifatinya dengan kata-kata:
ركن من أركان الكذب (ميزان الاعتدال 3 / 407)
Salah satu
tiang daripada tiang-tiang kedustaan (Mizanul I’tidal, 3/407). [Maksudnya ia
salah seorang pembohong besar]
4. Ibnu
Hajar Al ‘Asqalany -rahimahullah- berkata:
كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني المدني ضعيف أفرط من نسبه إلى الكذب (تقريب
التهذيب - 2 / 39)
Katsir bin
Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany Al Madany: dha’if, namun
orang yang menuduhnya sebagai pendusta agak berlebihan (Taqribut Tahdzieb,
2/39).
Kesimpulannya,
hadits di atas derajatnya dha’if jiddan atau minimal dha’if,
sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam berdalil. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmdzi,
hadits no 2677.
Memahami Alquran dan sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat, Gak perlu sekolah tinggi tinggi !, Gak perlu bikin pemahaman baru !. Ikuti pemahaman manusia yang Allah telah jamin masuk surga !!. Gitu aja Repot !.
BalasHapusMemahami Alquran dan hadits itu sesuai dengan pemahaman para sahabat (salafusshalih), Gak perlu bikin pemahaman baru !. Allah telah jamin para sahabat masuk surga, lalu untuk apa kita ikutin pemahaman orang yang blm tentu masuk surga ?. Ambillah ilmu kepada guru yang Aqidahnya benar, yang berjalan diatas jalan para sahabat, yang menegakkan Tauhid. Bahwa hanya ada satu Tuhan ialah allah dan perintahpun hanya dari Allah.
BalasHapusMemahami Alquran dan hadits itu sesuai dengan pemahaman para sahabat (salafusshalih), Gak perlu bikin pemahaman baru !. Allah telah jamin para sahabat masuk surga, lalu untuk apa kita ikutin pemahaman orang yang blm tentu masuk surga ?. Ambillah ilmu kepada guru yang Aqidahnya benar, yang berjalan diatas jalan para sahabat, yang menegakkan Tauhid. Bahwa hanya ada satu Tuhan ialah allah dan perintahpun hanya dari Allah. Gitu aja repot !!.
BalasHapus